JAMBI – Belanja daerah Pemerintah Kota Jambi yang belum optimal dinilai sebagai penyebab realisasi pembangunan jadi kurang berdampak pada pemeratan sosial ekonomi masyarakat. Kondisi ini yang akhirnya jadi memicu ketimpangan di Kota Jambi.
“Meski dipermukaan kesannya baik – baik saja, namun indikator sosial ekonomi kota masih memprihatinkan. Hal ini diakibatkan oleh kualitas belanja daerah yang belum optimal, melahirkan ketimpangan, belanja daerah tak berorientasi apalagi menginkubasi pemerataan,” ungkap Dr. Noviardi Ferzi salah pengamat ekonomi Jambi saat diskusi, Sabtu (17/4/22).
Menurut pria yang berprofesi peneliti ini, ada12 Indikator dalam mengukur kualitas belanja daerah yaitu disiplin belanja terhadap program prioritas, ketepatan alokasi belanja modal dan belanja pegawai, ketepatan sasaran pemberian hibah dan bansos, waktu penetapan APBD, realisasi pendapatan dan belanja, efektifitas dan efisiens, akuntabilitas, transparansi dan opini BPK.
Dari ke semua indikator ini pemerintah kota masih belum optimal merealisasi pendapatan dan belanja, selain itu program yang ada tergolong tak efektif dan belum efisien, termasuk akuntabilitas dan transparansi pada publik dan dewan kota.
” Indikator belanja pemkot tidak berkualitas dapat dilihat dari realisasi antara pendapatan dan belanja, PAD ditarget besar namun tak tercapai, belanja daerah besar namun efektivitas kecil, kurang berdampak, belum lagi dari segi akuntabilitas, ” jelasnya.
Salah satu contoh akuntabilitas program yang rendah dari Walikota adalah masalah bus kapsul yang tak jelas rimbanya, ada kesan hanya untuk pencitraan penguasa jelang pilgub kemarin, ketika sang walikota tak jadi maju, karena tak ada partai yang mau mengusungnya, bus ini menghilang, tanpa penjelasan.
Selain itu Noviardi juga menyoroti masalah transparansi antara pemkot dan legislatif yang tidak begitu baik, optimalisasi cek and balance tak terjadi, dewan ngeluh, walikota seolah jalan dengan maunya sendiri, anggaran dewan di potong, kepala daerah tidak.
Imbas belanja daerah yang tak optimal ini terjadi berbagai ketimpangan, salah satunya tercermin dari Angka Partisipasi Murni (APM) pendidikan SMP yang hanya 69, 43 persen. Angka ini kalah dengan capaian Kabupaten Humbang Hasundutan 90,38 persen, Kota Metro 88,26 persen, dan Kota Bima 88,07 persen.
Untuk APM ini Kota Jambi hanya unggul dari Kabupaten Kepulauan Mentawai di angka 51,27 persen, Kabupaten Sintang 49,71 persen dan terendah adalah Kabupaten Intan Jaya 13,34 persen, padahal angka nasional ada di level 70,68 persen.
Selanjutnya capaian tertinggi untuk indeks pembangunan manusia Kota Jambi sebesar 79, 12 persen, masih kalah dengan Banda Aceh 85,41 persen, dan Denpasar 83,93 persen.
Jambi hanya lebih tinggi dari capaian indeks pembangunan manusia yaitu Kabupaten Malaka 60,21 persen, Kabupaten Sabu Raijua 57,02 persen, dan Kabupaten Nduga 31,55 persen, padahal angka nasional sebesar 71,94 persen.
Tingkat kemiskinan di Kota Jambi masih tinggi. Tahun 2020 lalu saja kemiskinan meningkat sebanyak 0,15 persen dari tahun 2019, yakni dari 8,12 persen menjadi 8,27 persen pada 2020. Data ini menunjukkan dari 279,86 ribu orang miskin di Provinsi Jambi, 50 ribunya ada di Kota Jambi. Setengah dari angka ini terkategori kemiskinan ekstrem.
Angka ini masih jauh jika kita bandingkan dengan daerah dengan jumlah penduduk miskin terendah adalah Tangerang Selatan sebesar 1,68 persen, Bandung 1,78 persen, dan Depok 2,07 persen.
Terakhir Noviardi mengatakan, jika belanja pemerintah kota optimal indeks – indeks tersebut akan lebih baik, karena untuk ukuran wilayah, jumlah penduduk dan besaran APBD, Kota Jambi mengalami multi plier effect yang tak sebanding. Apa yang dibelanjakan dampaknya tak terukur.(muz)
Discussion about this post