Dr. Noviardi Ferzi
Politik gentong babi (Pork Barrel Politic) adalah wajah kusam yang mencoreng demokrasi Indonesia. Karakter utama dari politik gentong babi ialah, adanya pemanfaatan uang yang berasal dari dana publik, atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk kepentingan calon untuk hajat politik mereka.
Di Indonesia sejak pemilu 2009 dan Pilkada 2005, keluhan yang paling sering ditemukan adalah anggaran publik yang disalahgunakan dengan dimanfaatkan untuk keuntungan politik dari penguasa. Konkretnya, ada banyak peluang APBD maupun APBN yang bisa disalahgunakan untuk kepentingan Pilkada. Bentuknya macam – macam baik berupa bantuan sosial (bansos), fasilitasi OPD pada sosialisasi calon hingga penggunaan fasililtas lainnya.
Dalam studi ilmu politik dikenal istilah club goods dan pork barrel. Club goods merupakan pemberian uang atau barang dari seorang kandidat kepada kelompok sosial masyarakat seperti pemberian kerudung kepada kelompok pengajian, atau pemberian fasilitas olahraga kepada karang taruna.
Sedangkan pemberian bansos menjalang pemilu termasuk jenis politik uang pork barrel atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan sebutan politik gentong babi. Secara spesifik, Scaffer (2007) dalam studinya mendefinisikan pork barrel sebagai bentuk penyaluran bantuan materi dalam bentuk kontrak, hibah, bansos, atau proyek pekerjaan umum ke Kabupataen/Kota bahkan desa dari kepala daerah.
Melihat ke belakang, politik gentong babi merupakan sebuah istilah yang berangkat dari pengalaman politik di Amerika Serikat di zaman perbudakan. Di mana para pemilik budak susah menyuruh budaknya untuk bekerja dengan sungguh-sungguh. Para budak dalam berusaha justru memperlambat pekerjaan untuk mengurangi keuntungan pemilik budak.
Salah satu strateginya membuat budak bekerja serius adalah di tengah kebun dikasih daging babi di dalam gentong yang sudah digarami dalam bentuk sop, lalu diumumkan. Siapa bekerja paling banyak, paling cepat, paling kuat dia boleh ambil daging tersebut. Cara seperti ini kemudian direproduksi dalam dunia politik secara alamiah. Termasuk di Indonesia.
Politik gentong babi berangkat dari asumsi bahwa, perut tak bisa diajak kompromi. Tidak ada jalan lain kerena lapar mereka terpaksa bekerja baik dan produktif. Cara ini juga pernah diterapkan di Amerika Serikat. Untuk kepentingan politik petahana Presiden James Madison, wapres George Clinton mengusulkan dibangun jalan tembus dari timur ke barat dengan melingkar ke utara.
Pemanfaatan dana publik dalam politik seperti Pilkada dan Pileg memang bukanlah hal baru. Dalam Pilkada misalnya, tidak sedikit petahana berusaha memanfaatkan sumber daya yang ia miliki sebagai pemegang kuasa anggaran daerah untuk mendistribusikan program sosial dan kesejahteraan dalam wujud barang, uang, dan infrastruktur dalam rangka mempengaruhi preferensi politik masyarakat. Dengan kata lain, pemanfaatan dana publik oleh kepala daerah aktif merupakan sebuah usaha untuk kembali membuka peluang dukungan politik dari pemilih.
Di luar itu, event politik seperti pilkada selalu rawan dengan politisasi APBD/APBN. Beragam program bantuan digelontorkan pemerintah pusat maupun daerah, mulai bantuan Covid-19, BLT dana desa, bantuan jaminan hidup, bantuan sembako, hibah APBD, hingga alokasi khusus APBN. Implementasi ini secara umum simultan dengan mobilisasi ASN oleh petahana atau keluarga petahana.
Politik gentong babi merusak rasionalitas pemilih. Setelah ada transaksi para pemilih harus berhitung aspek materi. Pertimbangan objektif tentang kualitas calon menyangkut rekam jejak, kapasitas, integritas, menjadi terkesampingkan.
Selain itu persaingan kandidat menjadi tidak seimbang. Petahana atau pejabat yang memiliki akses kekuasaan akan lebih dominan dan berpeluang menang secara tidak adil. Salah satu solusi mengindari politik Gentong Babi itu ya menghilangkan periodesasi masa jabatan sejak presiden sampai kepala daerah.
Melawan hal ini, Masyarakat mesti memahami bahwa politik gentong babi hakikatnya adalah melecehkan dan menghinakan. Sumber dana yang digunakan adalah milik rakyat dan digunakan untuk menyuap rakyat. Pembagian bantuan hanya dapat diterima jika tanpa syarat dan tanpa pemotongan. Masyarakat juga mesti melek politik guna membentengi diri dari politisasi dana yang digelontorkan pemerintah.
Selain itu aparat penegak hukum, termasuk Bawaslu mesti peka dan proaktif mengawasi kemungkinan terjadinya politik gentong babi. Aparat hukum dapat turun jika mengarah pada tindak pidana. Inspektorat kementerian atau dinas diharapkan semakin ketat mengatur dan mengawasi pengoperasian penyaluran dana bantuan sosial atau dana lain ke masyarakat. DPR atau DPRD juga sebagai pengawas pemerintah mesti menjalankan fungsinya secara optimal. Jangan, malahan mengambil bagian dari politik gentong babi.******Pengamat****
Discussion about this post