Oleh : NANI EFENDI
Setelah dibukanya pendaftaran calon kepala daerah oleh sejumlah partai politik, muncul beragam respons politik di masyarakat. Di Kota Sungai Penuh, muncul gerakan anak muda yang menamakan diri Ikatan Pemuda Pelajar Rawang (IPPR).
Organisasi pemuda dan pelajar ini mengusulkan sejumlah nama yang mereka anggap layak untuk dimajukan sebagai calon Walikota Sungai Penuh di pilkada serentak 2024. Di antara nama-nama itu, ada satu nama yang menurut saya menarik untuk dikomentari: Fesdiamon.
Mendobrak kemapanan demokrasi
Fesdiamon yang akrab dipanggil Fes bukan dari kalangan “borjuasi”. Juga bukan dari kalangan—meminjam istilah Jawa—darah biru. Ia hanya anak muda yang punya idealisme. Berlatar belakang aktivis. Hidup dan besar di dunia pergerakan dan punya cita-cita sosial sebagaimana umumnya cita-cita kaum pergerakan: terwujudnya masyarakat demokratis berkeadilan.
Mengapa saya merasa perlu menulis komentar terhadap tokoh muda yang satu ini? Karena demokrasi kita saat ini sudah sangat-sangat elitis. Demokrasi kita, dalam satu dasawarsa belakangan ini, terlalu didominasi oleh kalangan pemodal besar.
Di setiap pilkada, kebanyakan nama yang muncul—hampir di setiap daerah di Indonesia—secara dominan berasal dari kalangan “borjuasi” atau kalangan pemodal. Seakan-akan pemilu maupun pilkada hanyalah “panggung politik” yang hanya diperuntukkan bagi kalangan “orang-orang berduit” saja. Padahal, untuk menjadi politisi, yang dibutuhkan itu adalah kecukupan otak, bukan kecukupan suara atau kecukupan modal.
Oleh karenanya, kalangan “bawah” tak berani ikut mencalonkan diri agar dipilih. Jangankan untuk mencalonkan diri, bermimpi saja mereka tak berani. Padahal, berbicara tentang pemilu maupun pilkada, hal pertama yang harus dipahami itu adalah “the right to vote and right to be candidate” (hak untuk memilih dan hak untuk dipilih).
Artinya, pemilu atau pilkada bukan agenda memilih saja, tapi juga momentum untuk “dipilih”. Nah, Fesdiamon—juga masyarakat pendukungnya—bukan hanya sadar bahwa mereka punya hak untuk memilih, tapi juga hak untuk dipilih. Wacana itulah yang, menurut saya, menarik.
Fenomena dukungan masyarakat untuk Fesdiamon dalam pilwako Sungai Penuh adalah sebuah “teks terbuka” yang bisa ditafsirkan secara berbeda-beda. Aspirasi masyarakat Rawang mengusulkan Fesdiamon sebagai calon walikota, memang, oleh sebagian kalangan, dianggap berita “ecek-ecek”.
Tapi bagi saya, tidak. Fenomena ini merupakan kemajuan dalam kesadaran berdemokrasi di Kota Sungai Penuh. Ia merupakan bentuk wacana sekaligus gerakan “memberontak” (revolt) dari masyarakat terhadap kebekuan dan kemapanan demokrasi yang selama ini hanya dihegemoni dan didominasi oleh kalangan elite.
Bersihkan demokrasi dari feodalisme!
Demokrasi elitis adalah anak kandung sistem sosial yang feodalistis. Feodalisme inilah yang harus dikikis habis demi perkembangan demokrasi. Feodalisme adalah sistem sosial yang mengagungkan status sosial ketimbang capaian sosial. Masyarakat feodal memuja prestise (seperti kekayaan, keturunan, jabatan, status sosial, gelar, pangkat, dsb), ketimbang prestasi.
Sistem sosial seperti itulah yang menghambat kemajuan negara demokrasi modern. Bahkan, feodalisme berkontribusi melanggengkan korupsi di negeri ini. Kata Amien Rais, banyak pejabat berlomba untuk kaya agar dihormati. Agar kaya, oleh karenanya, pejabat terpaksa melakukan korupsi. Munculnya tokoh muda, atau lebih tepatnya “anak muda” seperti Fesdiamon dalam wacana pilwako Sungai Penuh 2024, adalah satu hal yang menarik.
Tak jadi soal apakah nanti ia benar-benar berhasil atau tidak. Yang—bagi saya—patut diacungi jempol dan diapresiasi adalah “keberanian”-nya untuk mendobrak tembok elitis demokrasi kita dewasa ini. Sebentuk ikhtiar melawan feodalisme.
Bagi sebagian orang, apa yang dilakukan Fes adalah aneh. Dan banyak orang yang tak memahami bahkan mungkin ia disalahpahami. Tapi, jangan salah, untuk kebaikan dan menjadi besar jangan pernah takut disalahpahami.
Ralph Waldo Emerson (esais dan filsuf AS)—sebagaimana dikutip cendekiawan muslim Jalaluddin Rakhmat, dalam tulisannya “Ali Syariati: Panggilan untuk Ulil-Albab”, dalam Pengantar buku Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, karya Ali Syari’ati—menyebut: “Is it so bad, then to be misunderstood? Pythagoras was misunderstood, and Socrates, and Jesus, and Luther, and Copernicus, and Galileo, and Newton, and every pure and wise spirit that ever took flesh. To be great is to be misunderstood.”
Kalau diterjemahkan secara bebas, kira-kira: apakah disalahpahami itu adalah suatu hal yang sangat buruk? Pythagoras disalahpahami. Juga Socrates. Juga Yesus. Juga Luther. Juga Copernicus. Juga Galileo. Juga Newton—dan setiap manusia yang berjiwa murni dan bijaksana (orang-orang besar dalam sejarah kehidupan manusia) pernah disalahpahami. Artinya, orang yang benar dan hebat itu sering disalahpahami, diejek, dicemooh, dan terkadang banyak orang salah mengerti dengannya.
Menjadi hebat harus siap disalahpahami. To be great is to be misunderstood. Menjadi hebat berarti disalahpahami. Dan, kata Buya Syafii Maarif mengutip Fazlur Rahman, “Setiap gerakan maju untuk pembaharuan, pasti dilawan, dituduh, dikutuk, tapi diam-diam diikuti.”
Apa yang dilakukan oleh masyarakat Rawang—yang dipelopori oleh angkatan muda—adalah gerakan menuju pembaharuan demokrasi, terutama di Kota Sungai Penuh. Semua gerakan pembaharuan, di Indonesia, memang diawali oleh angkatan muda—terutama mahasiswa atau kalangan terdidik. Angkatan muda Rawang dengan Fesdiamon sebagai ‘icon’ telah memulainya sekarang. “Gerakan pembaharuan” itulah yang layak di-support dan diapresiasi.
NANI EFENDI, aktivis dan kritikus sosial
Discussion about this post