JAMBI – Rencana Gubernur Al Haris untuk merombak kepala OPD harus dengan pertimbangan kompetensi pejabat bersangkutan, jangan sebatas melakukan memainkan politik akomodasi dari lingkaran kekuasaan hari ini.
Karena pasca kurang lebih setahun Gubernur dilantik, masyarakat Jambi sebenarnya menunggu realisasi janji politik Gubernur. Bukan sebatas menyusun pejabat ditiap nomenklatur Jabatan.
Penilaian ini disampaikan Dr. Noviardi Ferzi pengamat pemerintahan menanggapi rencana Gubernur merombak 15 kepala OPD dilingkup pemerintahan provinsi Jambi.
“Sebenarnya publik setahun ini melihat kinerja Gubernur tidak begitu memuaskan, hanya berkutat pada hal – hal rutin dan seremonial pemerintahan, program – program yang sipatnya koordinasi kemiskinan tidak berjalan baik,” ungkapnya saat diskusi dengan awak media (25/5/22) kemarin.
Menurutnya, akar permasalahan sebenarnya ada pada leadership dari Gubernur yang lemah, masalah kemiskinan ada kesan OPD jalan sendiri – sendiri, rantai koordinasi di OPD tak berjalan karena sering di bay pass oleh kepala daerah sendiri, kasi tak takut sama kadisnya, karena merasa bisa koordinasi langsung sama Gubernur, akibatnya satu tahun ini masyarakat tak melihat program yang dilakukan Pemrov, sosialisasi kurang, narasi akan program unggulan tak ada, contohnya orang tak tahu apa itu Dumisake.
Terkait dengan rencana perombakan OPD, Noviardi mengatakan publik harus awasi dari proses penyusunan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang baru ini tidak ada suap dan tidak ada pungutan liar (Pungli). Penyusunan OPD dilakukan secara professional dan sesuai aturan yang berlaku.
Pak Gubernur juga harus memberi target kepada OPD yang didapati adanya temuan teguran dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, saat pemberian penghargaan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) beberapa waktu lalu. Kepala OPD yang mendapat posisi harus proaktif dalam menindak lanjuti LHP.
Apalagi menurutnya Gubernur harus sadar mereka yang ditunjuk adalah harapan bagi wajah pelayanan publik. Oleh karenanya, setelah terpilih, taktik berpolitik saja tidak cukup. Dibutuhkan pengetahuan dan kerelaan untuk menempatkan kepentingan publik sebagai alasan utama dalam mengambil setiap keputusan.
Terkait ini Noviardi berharap dalam menjawab tuntutan publik, pemetaan terhadap persoalan pelayanan publik menjadi penting. Potensi maladminstrasi dan solusi membangun tatanan birokrasi yang apik.
Setidaknya terdapat 3 (tiga) tugas pertama yang harus dilakukan pejabat publik setelah dilantik.
Pertama, membantu masyarakat untuk memahami hak dan tanggung jawabnya. Bukan tanpa alasan hal ini dilakukan. Semakin cair hubungan masyarakat dengan pejabat publik. Maka, semakin pola komunikasi yang terbentuk juga semakin baik. Publik menjadi leluasa untuk menyampaikan persoalan yang dihadapi. Pejabat publik mengetahui akar persoalan. Hingga akhirnya, muncul kesadaran untuk memahami hak dan kewajiban satu sama lain.
Kedua, membangun iklim pelayanan publik yang sehat. Budaya melayani memang bukan hal yang baru. Pembangunan Zona Integritas dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani sebagaimana Permenpan RB Nomor 10 Tahun 2019 telah menjadi kewajiban bagi penyelenggara. Namun, budaya melayani tersebut hanya akan berhenti pada dokumen adimistratif apabila, tidak dilakukan dengan kesadaran penuh.
Ketiga, terbuka dalam menyampaikan kondisi yang dihadapi internal. Sebagai bagian dari demokrasi, persoalan internal yang dihadapi penyelenggara adalah informasi yang ingin diketahui publik. Kendati hal ini dianggap tabu oleh pejabat publik, namun tidak jarang pula kita mendengar dan menyaksikan pejabat publik melakukan taktik politik tanpa realisasi. (*)
Discussion about this post