Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Batubara merupakan energi kotor, bukan hanya dari segi sosial dan lingkungan, tetapi juga sistem memberi ruang besar bagi korupsi.
Terdapat banyak praktek korupsi sepanjang rantai nilai batubara. Banyak kasus korupsi yang sudah terungkap seputar perizinan dan kelalaian dalam menegakkan aturan pada operasional pertambangan dan pasca tambang.
Mulai dari segi pelaporan yang menyebabkan hilangnya pemasukan negara dari segi royalti dan pajak. Sedangkan, dalam pemanfaatannya sebagai sumber tenaga listrik, terjadi banyak praktek pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat dan negara dari sisi perolehan perizinan, penguasaan lahan serta pengelolaan dampak sosial dan lingkungan hidup dari PLTU Batubara.
Ditengah derita masyarakat Jambi karena angkutan Batubara, rencana penggunaan APBD untuk jalan khusus batubara, sontak saya teringat pernyataan Menko Polhukam Mahfud MD tentang korupsi kebijakan.
Menurutnya (11/9/20), korupsi kebijakan lebih berbahaya daripada korupsi dalam bentuk uang. Fenomena yang ditangkap mantan Ketua MK ini berdasarkan tentang calon-calon kepala daerah yang dibiayai oleh cukong, dan sesudah mereka terpilih, melahirkan korupsi kebijakan.
Di provinsi Jambi Korupsi kebijakan dalam bentuk pemberian lisensi penguasaan hutan hingga lisensi penguasaan tambang kepada para cukong hingga pembiaran penggunaan jalan umum untuk angkutan batubara.
Bahaya korupsi kebijakan, jika korupsi uang bisa dihitung, tetapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasan tambang terjadi tumpang-tindih antar banyak regulasi dan kepentingan. Baik investasi, roda ekonomi warga hingga kepentingan publik.
Korupsi kebijakan lahir karena adanya jabatan tertentu dengan wewenang yang legitimate berdasarkan hukum akan tetapi terdapat kepentingan pribadi di tengah kepentingan masyarakat sebagai nilai jahat untuk mencuri uang negara.
Modus operandi yang paling canggih dari tindak pidana korupsi saat ini adalah melalui kebijakan publik, baik yang dikeluarkan dari lembaga legislatif, eksekutif, maupun lembaga-lembaga pembuat keputusan yang ada di BUMN/BUMD dan juga lembaga perbankan.
Kembali pada rencana Gubernur Jambi untuk menganggarkan Rp 50 miliar dari APBD perubahan tahun 2022 untuk pembangunan jalan khusus angkutan batubara. Meski tanpa didahului tahap Feasibility Study (FS) dan Detail Engineering Design (DED) tahun 2022 serta Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
Atas hal ini publik bisa menilai, sebagai salah satu bentuk korupsi kebijakan, ada kepentingan kelompok para pengambil kebijakan dan pengusaha tambang untuk saling menguntungkan dengan fasilitasi uang negara. Namun, sekali lagi ini hanya dugaan, bagian respon kritis publik akan kebijakan.
Pembangunan jalan khusus batubara adalah keniscayaan yang harus diwujudkan. Namun karena ini menyangkut asal dana atau anggaran untuk pembangunan jalan tambang. Kita juga patut mempertanyakan secara kritis, bertanya atas keberpihakan tak proporsional Gubernur dalam melakukan alokasi APBD.
Karena jalan ini jalan khusus tambang yang terkait dengan kepentingan pengusaha tambang, maka jalan tambang harus dibangun oleh badan usaha, perseorangan, atau kelompok masyarakat yang berkepentingan.
Karena jika dibangun pemerintah, maka jalan ini merupakan jalan umum. Jika menjadi jalan berbayar (jalan tol), maka jalan tersebut harus masuk rencana umum jaringan tol dan melakukan tahapan pengusahaan jalan tol ke Kementerian PUPR cq. BPJT.
Apa pun fungsi jalan tambang ini ke depannya, pastinya diusahakan pembangunan jalan tambang itu tidak menggunakan dana pemerintah. Bukan dari APBD atau APBN.******Pengamat*****
Discussion about this post