Oleh: Antony Z. Abidin
Apa yang paling menentukan suksesnya seorang calon presiden mencapai istana?
Jawabannya: MRT atau jika dibaca terbalik TRM. Threshold (pemilahan), Rakyat, dan Modal.
Pemilahan juga berarti stratifikasi sosial. Strata atas, tengah dan lapisan bawah, yaitu rakyat Indonesia pada umumnya yang secara sosial dan ekonomi punya gap dengan strata atas itu.
Sistem nilai, rasa, karsa (intention), dan pikirannya umumnya tidak sama. Kimiawinya tidak cocok.
Fakta-fakta politik berikut ini mungkin dapat menjelaskannya.
Fakta pertama, Megawati akhirnya menetapkan Ganjar Pranowo (GP) menjadi calon presiden dari PDIP (21/4). Itu pilihan yang paling paling benar dalam perspektif MRT tersebut.
Di mana benarnya? Tentu saja berdasarkan pengalamannya 2x nyapres 2x kalah.
Di ruang VVIP Sentul Convention Center menjelang pelantikan pengurus DPD Golkar 3 Juni 2022, saya pernah mengajukan pertanyaan kepada 3 tokoh penting Golkar.
Yaitu Ketum Golkar Airlangga Hartarto yang duduk di samping saya. Akbar Tanjung dan Agung Laksono.
Pertanyaan saya: Mengapa Megawati 2x maju calon presiden (2004 dan 2009) 2x kalah? Dikalahkan SBY yang notabene pernah jadi anak buahnya dalam kabinet saat Mega jadi presiden.
Mengapa Prabowo juga mengalami nasib yg sama? Dikalahkan oleh Jokowi dalam 2x Pilpres. 2014 dan 2019.
Ketum Golkar Airlangga Hartarto hanya tersenyum mendengar pertanyaan tersebut, karena sebelumnya sudah mengetahui penjelasan saya.
Yang balik bertanya justru Ketua Dewan Pakar DPP Golkar, Agung Laksono. Mengapa ya, tanyanya.
Pertama, jawab saya, yang memilih adalah rakyat. Megawati dan Prabowo, dibesarkan (proses sosialisasi) jauh dari rakyat. Pada hal, dalam sistem pemilu era reformasi sekarang, presiden dipilih rakyat. Langsung, one person one vote.
Beda dengan pemilihan presiden tahun 1999, yang menjadikan Megawati Wakil Presiden. Ketika Gus Dus dimakzulkan MPR yg dulunya memilihnya, Megawati menggantikannya, 23 Juli 2021.
Megawati sejak kecil hingga remaja hidup di istana. Prabowo sejak SD hingga SMA di luar negeri.
Karena dalam perjalanan hidupnya, sepanjang proses sosialisasi tersebut mereka kurang dekat, kurang bergaul, dan bahkan jauh dari rakyat. Sistem kepribadiannya atau “kimia”nya itu tidak nyambung dengan mayoritas rakyat.
Fakta kedua, PPP sudah resmi mencalonkan GP sebagai capres, sembari menyodorkan Sandiaga Uno yang khusus pindah partai karena dengan rumus MRT itu Gerindra sudah hopeless.
Status Prabowo yang berada pada posisi T sendiri, dalam pendekatan MRT itu kimianya juga hopeless. Tidak “tune in”, tidak “apple to apple”, tidak nyambung dengan sistem budaya wong cilik, mayoritas pemilih yang hidupnya miskin atau pas-pasan.
Sama halnya ketika JK digaet SBY (2004) dan Jokowi (2014). Tentu ada mahar untuk partai dan modal untuk kampanye.
Karena itu pula Menteri BUMN Erick Tohir pede bakal bisa masuk bursa cawapres. Dia bahkan sudah lama mulai kampanye di ATM bank pemerintah dan iklan di sejumlah airport.
Sebelum PPP, PAN sudah lebih dahulu memasangkan GP dengan Erick Tohir pada Rakornasnya di Semarang (26/2).
Lagi-lagi karena faktor M tadi itu. Sebagai partai kecil jika mau eksis mesti nyender ke capres yang berpotensi besar untuk menang.
Potensi tersebut terletak “the power of R”, rakyat. Yang melekat pada GP. Sama dengan SBY dan Jokowi.
Jika dilengkapi dengan faktor M dan strategi kampanye yang tepat maka akan muluslah perjalanan MRT itu menuju istana.
Fakta politik ketiga, selain GP, juga ada 3 nama yang sudah lebih dahulu dideklarasikan. Prabowo, Airlangga Hartarto, dan Anies Baswedan.
Prabowo konon keturunan ke-8 Trah Sultan Agung Mataram dan Sultan Hamengkubuwono (HB) I (okezone.com 26/1/23).
Kakeknya pendiri BNI, ayahnya satu-satunya orang Indonesia yang dijuluki “begawan ekonomi”. Pamannya, Subiakto, pejuang yang gugur dalam perjuangan kemerdekaan RI. Jelas, dia berada strata T (tinggi).
Sedangkan Airlangga menurut Juru Kunci Astana Oetara RM Haryanto, adalah salah satu keturunan Mangkunegara II, katanya (bisnis.com 18/6/21).
Konon Airlangga juga punya garis keturunan dengan Kyai Ageng Gribig, ulama besar penyebar Islam di Jawa. Ayah dari Ibunya pun adalah tokoh kemerdekaan RH Didi Sukardi.
Anies Baswedan, kedua orang tuanya dosen di Jogya. Kakeknya tokoh perjuangan kemerdekaan dan pernah menjabat menteri.
Sejak TK hingga perguruan tinggi (UGM) ditempuhnya di Yogyakarta. Aktif di OSIS dan organisasi kemahasiswaan. Status sebagai anak dosen dan lingkungan sekolahnya di Jogya, membentuk sistem kepribadiannya yang relatif dekat dengan rakyat.
Karena itu, magnet yang dimiliki AB sama dengan GP. Kedua alumni UGM ini, terdongkrak tinggi elektabilitasnya saat menjabat Gubernur.
Sering bertemu langsung dengan rakyat, setiap hari terekspos media.
Jalur MRTnya, nyaris lengkap namun belum sempurna. Masih minus faktor M.
Bagi Ganjar mengarah ke Sandi atau Erick. Bagi Anies, akan tergantung marketing politiknya untuk memastikan elektabilitasnya teratas untuk menggoda pemodal.
Bagaimana dengan AH dan PS? Sangat tergantung pasangannya. Airlangga mirip
Pak Harto dlm berfikir taktis dan efektif, mirip Prof Widjoyo yg teknoratis.
Serta, sejauh mana kakinya lebih menghentak ke bumi. Seberapa efektif kedua ketua umum
partai kedua dan ketiga terbesar ini mampu merebut hati rakyat.
Pasukan infanteri Golkar perlu segera siap tempur utk menaikkan elektabiltas Golkar dan Ketum for RI1 dalam 6 bulan ke depan. Ditunggu langkah taktis Sang Pemimpin. Maju Terus Pantang Mundur.******
Discussion about this post