Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
DISKUSI asyik hingga jam dua dini hari, saking lamanya bahkan harus nambah dua kali kopi. ! Diskusi ini memang suasananya amat mendukung, selain waktu lebaran, ditambah kawan – kawan jarang jumpa, hingga topik tentang Jambi serasa pas untuk didiskusikan.
Obrolan ini tambah asyik karena berbagai kue lebaran nan lezat disuguhkan tuan rumah. Hasilnya, diskusi malam tadi mengalir cukup konstruktip dan analitik, banyak seriusnya meski banyak pula gelak tawanya.
Meski dihadiri aktivis aneka warna dan latar belakang, diskusi malam tadi substansinya cuma satu, yaitu prihatin dengan kondisi Jambi. Prihatin, karena Jambi telah mengalami degradasi sosial ekonomi yang serius. Seorang senior menambahkan kondisi Jambi jatuh pada palung masalah pembangunan. Sesuatu yang jatuh terlalu dalam, akan makin susah untuk timbul.
Apalagi, instrumen untuk timbul itu belum tampak sama sekali tandanya, ya masalah Jambi hari ini akarnya berupa daya kepemimpinan secara konseptual dan operasional yang terbatas dari Gubernur Jambi.
Padahal Kondisi Jambi pasca Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK dan transisi Gubernur pengantinya membutuhkan pemimpin bervisi jelas terukur, cakap, tanggung jawab, bermotivasi, empati, berani, percaya diri dan manajerial.
Namun faktanya, hari ini Gubernur lain diobrolkan karena prestasi, tapi Gubernur Jambi karena kontroversi ?, mulai dari orientasi seremonialnya yang berlebihan, prioritas pembangunan yang tak jelas serta keberpihakan pada kepentingan publik yang dipertanyakan secara luas ?
Secara konseptual, kepemimpinan Gubernur Jambi memang memang teramat biasa, terlalu sederhana jika dibandingkan berbagai aspirasi dan problematika Provinsi Jambi. Contoh kasat mata soal angkutan BB, program multi years yang membebani fiskal daerah, RTH yang viral karena hasilnya tak sesuai harapan, seolah menjadi potret buram Provinsi Jambi.
Tak bisa ditutupi lagi, selama ia memimpin Jambi hampir tak pernah kita melihat ide, gagasan, terobosan atau bahkan wacana segar mau dibawa kemana Provinsi Jambi ???
Selaku Gubernur kita tak mendengar ia bicara pembangunan kewilayahan, kita tak pernah mendengar apa prioritasnya soal keseimbangan pembangunan antar kabupaten kota yang berkeadilan dalam APBD, kita tak juga melihat upaya ia membawa Industri strategis ke Jambi, alih – alih memasukkan program Jambi mantap dalam rencana strategis nasional, rencana strategis dalam Visi misinya sendiri tak mampu ia laksanakan.
Padahal kekuasaan pemerintahan daerah dituntut memiliki pemahaman pada pemerataan yang berperspektif keadilan. Salah satu instrumen keadilan yang dituntut publik dalam kekuasaan kepala daerah adalah pemerataan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Tanpa keadilan dan pemerataan tak ada kekuasaan yang optimal bisa melaksanakan fungsinya, menjalankan politik anggaran yang adil dan merata bagi tiap wilayah, masalah kemiskinan dan gender. Kewajiban ini berlaku untuk semua penguasa termasuk Gubernur Provinsi Jambi.
Bahkan, bukan hanya tak mampu memediasi anggaran dan kemiskinan, proyek – proyek mercusuar ini bisa menjadi jebakan kemiskinan baru, karena perputaran modal infrastrukur besar tak menetes ke bawah. Artinya, dalam tahun pertamanya Haris gagal mengoptimalkan anggaran untuk mengentas kemiskinan. Sekalipun pada tahap mediasi, perantara antara anggaran dan sasaran kemiskinan.
Salah satu yang paling mengecewakan dalam realisasi Visi Jambi mantap adalah masalah Dumisake. Pemahaman awal publik menilai Dumisake adalah akronim dari Dua Milyar Satu Kecamatan. Sebuah program yang menyasar langsung kelompom miskin, by nama, by addres, by phone. Namun, ternyata Dumisake hanya nama dari kumpulan program OPD yang diklaim sebagai Dumisake.
Padahal sebagaian program ini adalah program rutin yang sipatnya mengembangkan atau memperbesar capaian, lanjutan dari program sebelumnya. Ketika ini disebut dumisake maka tak heran kelompok miskin tak terjamah sama sekali, karena yang disasar bukan lagi kelompok miskin, tapi kelompok yang sudah berdaya.
Akibat hal ini kita bisa melihat angka kemiskinan di Provinsi Jambi meningkat. Per Maret 2021, jumlah penduduk miskin di provinsi tersebut mencapai 293,86 ribu jiwa atau 8,09% dari total penduduk. Lalu, Jumlah orang miskin di Provinsi Jambi pada September 2022 naik. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi.
Angka penduduk/orang miskin di Jambi per September 2022 sebanyak 283.820 orang.
Kenaikan ini bertolak belakang dengan peningkatan APBD Provinsi Jambi yang ditahun 2022 saja mencapai 4,7 triliun, lalu meningkat menjadi 5,2 triliun di 2023.
Sayangnya peningkatan APBD tak berkorelasi dengan turunnya jumlah orang miskin di Provinsi Jambi. Ini baru angka kemiskinan.
Padahal masalah kemiskinan di Jambi wajib menjadi perhatian Gubernur Al Haris karena cenderung sudah stagnasi, relatip sama dalam satu dasa warsa terakhir.
Seolah kebal akan berbagai program dan pendekatan kemiskinan yang dicanangkan pemerintah.
Hal ini menandakan belanja pemerintah di APBD Provinsi Jambi tidak mampu menekan angka inflasi dalam batas proporsional, yang Juli 2022 lalu mencapai 8.55 %. Tertinggi di Indonesia.
Inflasi yang tinggi menjadi masalah karena menyangkut kualitas hidup masyarakat, makin tinggi inflasi makin turun pula kualitas hidup masyarakat. Jika, hidup tak berkualitas masyarakat akan jatuh pada kemiskinan.
Inflasi tinggi bukan hanya membebani masyarakat, tapi juga dunia usaha, ketika dunia usaha sulit, angka pengangguran akan meningkat. Inilah yang terjadi di Jambi.
Lalu, masalahnya dengan APBD apa ? Kenapa APBD provinsi digolongkan mengali disfungsi fiskal ? Jawabannya pengaruh APBD pada kesejahteraan masyarakat rendah.
Salah satu kesalahan Gubernur Jambi dalam mengelola fiskal hanya mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membangun infrastruktur daerah.
Gubernur tidak kreatif dengan hanya melakukan hal-hal administratif, seperti menggunakan dana yang diberikan dari pemerintah pusat tanpa melakukan inovasi lebih, terobosan baru, mengembangkan daerahnya secara tidak konvensional.
Selanjutnya, masalah kepemimpinan operasional Gubernur juga terlihat lemah jauh dari optimal, salah satunya soal serapan belanja. Silpa pada APBD Provinsi Jambi Tahun Anggaran (TA) 2021 sebesar Rp727 miliar.
Pasalnya besarnya Silpa APBD pada tahun 2021, yang mencapai Rp727 miliar menjadi anomali jika dihubungkan dengan upaya percepatan pembangunan di RPJMD Jambi mantap.
Bagaimana mungkin Pemprov dengan segala perangkatnya terlihat kesulitan menghabiskan anggaran, padahal Jambi sangat membutuhkan anggaran untuk pembangunan. Namun, ketika anggaran tersebut tersedia, Pemprov kesulitan membelanjakannya. Ada apa?
Akar masalah dari Silpa Jumbo Pemprov di 2021 adalah lemahnya kualitas perencanaan. Saat penyusunan platform anggaran 2021 di ujung 2020 penetapan besaran pendapatan terkesan asal – asalan, tanpa analisa potensi yang memadai dan berani.
Disebut kurang memadai, karena Pemprov seolah tidak melakukan kajian potensi secara terukur dalam satu study yang komprehensif, lalu, pemprov terkesan tak berani mencatatkan target secara tinggi berdasarkan potensi yang objektip. Dalam hal ini pemerintah masih terjebak permainan citra, menetapkan target pendapatan lebih rendah, agar mudah di capai dan dinilai sukses meningkatkan pendapatan lalu mendapatkan bonus.
Indikasi ini cukup kuat, buktinya bisa dilihat dari pelaksanaan APBD Tahun Anggaran 2021 yaitu Pendapatan Pemerintah provinsi Jambi terealisasi sebesar Rp. 4,73 triliun atau sebesar 107.36 persen, lebih dari 100 persen. Sekilas hebat, namun dalam kasus ini, capaian ini tak sepenuhnya prestasi, justru memperlihatkan kualitas perencanaan yang buruk.
Hal itu baru dari sisi pendapatan, dari sisi belanja yang dianggarkan sebesar 4.80 triliun, hanya terealisasi 4.39 Triliun atau hanya 91,33 persen. Artinya apa ? Tak lain tak bukan masalah kinerja dari Pemrov yang lemah. Bukti kelemahan ini terdapat silpa sebesar Rp. 727 miliar.
Tentu saja akibat dari SILPA ini pelaksanaan program dan pembangunan dalam RPJMD tidak berjalan dengan baik, menjadi Raport merah bagi Pemerintah Provinsi Jambi, di saat kita mengembalikan geliat ekonomi Jambi dan masyarakat sangat membutuhkan peran pemerintah.
Lalu, ada juga kelemahan dari Gubernur terpilih dalam hal Silpa 2021 ini, karena sejak dilantik 7 Juli 2022, Gubernur semestinya bisa memenej arus pemasukan pada kas daerah, dengan cara mendistribusikannya pada bos belanja dalam APBD P tahun 2021. Tapi ini juga tak optimal dilakukan. Padahal jika sedikit cermat dan berani banyak pos yang bisa didanai dari over load pendapatan dalam tahun berjalan.
Ke depan pengelolaan anggaran harus menjadi kinerja yang utama, hal ini harus di bangun oleh Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi. Apagunanya penerimaan pendapatan daerah meningkat, jika menjado SILPA.
Karena sisi belanja pemerintah bisa mendorong perekonomian masyarakat, dan dampak ini masih kecil, hanya 12,5 persen, bahkan menurun, dibandingkan tahun 2020 yaitu 17 persen.
Persoalan ini merupakan Pekerjaan Rumah (PR) bagi Gubernur Jambi dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Jambi melalui belanja APBD. Jika tidak, Jambi mantap akan makin lari dari cita – cita awalnya. *****Pengamat****
Discussion about this post