Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Kenaikan tunjangan kinerja Aparat Sipil Negara (ASN) atau TPP pejabat dilingkungan pemerintah provinsi Jambi menuai kontoversi, apalagi dalam waktu bersamaan tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Provinsi ikut naik.
Dugaan publik, ditengah hiruk pikuk masalah pokir waktu pembahasan APBD 2022 lalu, kesepakan mutualisme antara dewan dan pemrov terjadi. Enak sama enak, pejabat pemprov dapat TPP dan dewan dapat kenaikan tunjangan.
Bahkan, saking ketatnya pembahasan ini, publik baru tahu ketika Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP) di lingkup pemerintah provinsi Jambi akan dicairkan paling lambat pada Jum’at (25/3/2022) mendatang.
Kenaikan ini bisa dikategorikan kontoversial, pasalnya, kenaikan TPP dan tunjangan dewan belum tepat dilakukan, saat di pandemi dan ekonomi masyarakat belum pulih.
Di saat banyak warga yang di-PHK dari pekerjaannya, penghasilan yang tak menentu, para pejabat pemprov baik legislatif dan dewan berpesta pora menikmati uang rakyat.
Bukan hanya kontroversial, kenaikan TPP ini ironis dengan nasib para tenaga honorer di Pemprov sendiri, disaat rekan mereka yang ASN menikmati TPP dan THR, mereka hanya bisa menonton sambil merenungi nasib. Disinilah sebenarnya keadilan itu harus dihadirkan, bukan justru dibutakan dengan pangkat, jabatan dan seperangkat aturan.
Dalam hal ini saya teringat kata Emha Ainun Nadjib tentang keadilan bawha, Peraturan dan undang-undang tidak selalu sama dengan keadilan, ia bahkan bisa saja bertentangan dengan prinsip keadilan. Dalam hal ini bisa saja peraturan gubernur tentang TPP ini telah mengangkangi nilai keadilan itu sendiri.
Sikap pemprov ini juga seolah berbanding terbalik dengan keputusan mereka tentang Upah Minimum Provinsi (UMP). Dimana Pemerintah Provinsi Jambi bersama Dewan Pengupahan hanya menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar Rp 2,649,034 naik 0,72% dari tahun 2021. Jauh dari pertumbuhan ekonomi yang dibanggakan sebesar 3,66 % di tahun 2021. Andai saja, Gubernur dan dewan lebih peka dibandingkan meningkatkan TPP alangkah lebih baiknya APBD digunakan untuk program – program yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat.
Pemerintah tentu berkilah, TPP merupakan bentuk penghargaan kepada ASN sebagai pelaksana kebijakan publik dan pelayanan publik atas tugas-tugas yang diembannya.
Dengan kriteria berdasarkan beban kerja, prestasi kerja, kondisi kerja, tempat bertugas dan kelangkaan profesi.
Namun, masyarakat bisa juga bertanya bagaimana nasib mereka yang penghasilnya masih terbatas. Apa kriteria penghargaan yang bisa diberikan pemerintah dan dewan pada mereka.
Disadari atau tidak ada masalah trust antara masyarakat dan pemda apabila kita berbicara mengenai belanja pegawai. Dari sisi publik menganggap alokasi belanja pegawai di pemda sangat timpang, bahkan pada sebagian pemda porsi belanja pegawai melebihi alokasi belanja infrastruktur.
Padahal ciri keberpihakan yang diharapkan publik adalah membatasi persentase belanja pegawai pada APBD, membatasi jumlah pegawai pemda, atau membatasi besaran maksimal penghasilan pegawai pada pemda. Namun yang terjadi malah sebaliknya.
Terakhir ada kutipan, bahwa seorang pemimpin bukan meminta keadilan, tetapi memastikan keadilan. Gubernur jangan hanya meminta keadilan pendapatan untuk pejabatnya, tapi juga harus memastikan keadilan untuk semua rakyatnya.*****Pengamat****
Discussion about this post