JAMBI – Kondisi dan ketersediaan angkutan umum di Kota Jambi sebagai daerah perkotaan kini makin memprihatikan. Angkot yang ada, kondisi fisik armadanya makin tua dan rapuh, walhasil Kota Jambi di bawah pimpinan Walikota Sy Fasha sudah tidak mempunyai angkutan umum yang memadahi.
Penilaian ini disampaikan Warga Kota yang juga pengamat Sosial Ekonomi perkotaan Dr. Noviardi Ferzi dalam diskusi bersama dengan komunitas pedagang kaki lima bada Tarawih (8/4/22) semalam.
” Di bawah Fasha sebagai Walikota, angkutan umum makin langka dan memprihatinkan, sebaliknya kemacetan lalu lintas makin meningkat. Kondisi yang tidak hanya dipicu makin maraknya penggunaan kendaraan pribadi bahkan sepeda motor, tapi design kebijakan transportasi yangbtak jelas dari Pemkot, ” ungkapnya memberikan analisa kondisi tranportasi di Kota Jambi.
Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pembangunan angkutan umum berada di Pemda dan terbatas pada satu wilayah administrasi. Artinya, pemerintah Kota Jambi memiliki tanggung jawab untuk menyediakan angkutan umum untuk warganya.
Tidak berkembangnya transportasi umum di Kota Jambi, akar masalahnya bukan keterbatasan kapasitas fiskal daerah, namun lebih pada prioritas untuk membangun sistem angkutan umum massal perkotaan yang tidak ada dari pemerintah Kota Jambi.
” Pasca bus kapsul sikoja tiba – tiba menghilang tanpa penjelasan ke publik, Pemkot seolah tidak memiliki terobosan baru untuk menyediakan angkutan kota yang nyaman untuk warganya, padahal anggaran sudah banyak keluar untuk membangun halte di jalur yang dilalui sikoja, seharusnya BPK dan BPKP bisa mengaudit ini, masyarakat dirugikan,” pintanya.
Dikatakan Spesialis analis Big Data Ekonomi ini saat ini Pemerintah Kota Jambi memiliki keterbatasan kelembagaan untuk mampu mengintegrasikan pengembangan transportasi perkotaan lintas administrasi dan lintas sistem angkutan di kawasan perkotaan.
“Idealnya Kota Jambi memiliki sistem transportasi yang terintegrasi, seperti keberadaan terminal antar kota dan terminal angkutan dalam kota harus berdekatan, orang datang dari luar kota bisa mengakses angkutan dalam kota,” jelasnya.
Di Kota Jambi yang terjadi justru anomali ketika Pemkot dengan dana pinjaman SMI malah membangun terminal rawasari di lokasi lama, bukan mengintegrasikan angkutan, malah memisahkan angkutan publik antar kota ke dalam kota secara jarak dan waktu, padahal kini tak banyak lagi angkot yang melayani trayek,” jelasnya.
Selain itu, Noviardi juga menyoroti masalah pengembangan trayek angkutan umum yang tidak dilakukan oleh pemerintah Kota Jambi. Menurutnya dari dekade 80 trayek angkutan di Kota Jambi tidak bertambah malah berkurang. Kondisi ini memperlihatkan kinerja Walikota yang tak bagus dalam hal layanan transportasi perkotaan.
” Kita lihat trayek angkutan umum Kota Jambi dari tahun 80 an tidak berkembang, padahal jumlah penduduk dan pertumbuhan pemukiman bertambah kencang, artinya tidak kerja apa – apa dari pemerintah Kota dalam hal layanan transportasi, ” imbuhnya.
Dalam kondisi tak jelasnya kebijakan transportasi Pemkot ini, Noviardi mengatakan masyarakat akhirnya memiliki design sendiri dengan cara membeli kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Akibatnya ketika semua orang memiliki kendaraan, Kota akan sudah mulai macet. Masyarakat tak bisa disalahkan, karena memang Walikota tak punya program untuk menyediakan angkutan umum bagi warganya.
Selanjutnya, Noviardi juga mengatkan Kajian Bappenas bersama Bank Dunia (2019), menyebutkan pangsa angkutan umum perkotaan sedang seperti Jambi dan kota-kota lainnya rata-rata masih tinggi dan bisa di antisipasi dalam perencanan angkutan yang terintgrasi. Namun sayang pangsa ini tidak dijawab oleh pemkot Jambi.
“Jika pemkot masih tak memiliki angkutan publik yang jelas, Keterbatasan sistem angkutan umum massal ini akan menyebabkan kemacetan yang akhirnya berdampak pada kerugian ekonomi warga kota, ini seharusnya diantisipasi oleh walikota bersama jajarannya,” pungkasnya.(*)
Discussion about this post