JAMBI – Percepatan peningkatan Smart City dengan peningkatan kualitas pelayanan publik harus saling berkaitan serta jalan bersamaan. Keharusan ini menjadi perhatian Dr. Noviardi Ferzi pengamat sosial ekonomi perkotaan.
Menurutnya, di kota Jambi hal ini seolah terpisah tidak sinkron, Smart City tidak sejalan dengan Smart Governance. Ke duanya berjalan tidak bersamaan. Berbagai aplikasi yang disediakaan pemerintah tidak memberi kemudahan berbagai perizinan dan layanan bagi masyarakat.
“Unsur terpenting dalam pengembangan Smart City adalah Smart Governance. Muara dari konsep Smart City itu adalah peningkatan pelayanan publik. Tapi di Kota Jambi ini tidak berlaku, Smart Governance berupa kemudahan layanan publik tidak berjalan, ” ungkapnya dalam diskusi dengan pemuda dan mahasiswa (9/4) kemarin.
Berbagai aplikasi smart city yang coba dikembangkan Pemkot Jambi seolah sesuatu yang asing di masyarakat. Seperti informasi wisata, kuliner, hotel, fasilitas umum, katalog UMKM, serta mencakup layanan publik seperti informasi perizinan, e-pajak.
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu (SPGDT), aspirasi, harga pangan, Flight Information Detail System (FIDS), dan layanan unggulan daerah lainnya. Termasuk fitur-fitur seperti streaming CCTV, Location based Augmented Reality (AR), dan Virtual Reality (VR).
“Semuanya masih berjalan sendiri, belum menunjang Smart Governance ? Coba saja lihat berapa banyak frekuensi penggunanya. Jangan buat aplikasi tapi tidak implementatip,” ungkapnya.
Dalam hal tersebut ahli Big Data ini mengatakan Smart Government merupakan salah satu elemen dasar yang harus dipenuhi untuk mewujudkan Smart City.
Secara umum, Smart Government adalah istilah yang merujuk pada pengimplementasian ICT pada layanan publik di bidang pemerintahan secara efektif. Sedangkan, Smart City selain mencakup administrasi pemerintahan juga menangani layanan kesehatan, transportasi, pendidikan, dan sebagainya. Ke duanya harus saling terkait jalan bersamaan.
Dalam pengamatan Noviardi, Gerakan Menuju Smart City menjadi Digital Regional oleh pemerintah Kota Jambi tidak di dukung masterplan dan quickwin kota pintar.
“Objek dari program Smart City di Jambi tidak fokus pada masyarakat, pemerintah dan infrastruktur, dan sejauh ini belum ada kolaborasi antara seluruh pihak untuk mendukung percepatan Smart City demi meningkatkan kualitas pelayanan publik, ” jelasnya.
Menurutnya berbagai masalah kerap muncul dalam potret pelayanan publik seperti masih menggunakannya formulir manual, kurangnya informasi yang disampaikan, oknum yang mengulur waktu penyelesaian, ketidakpastian dalam memberikan informasi hingga penyelesaian masalah yang berlarut harus menjadi perhatian untuk segera dibenahi.
“Kasus pemalsuan KTP Elektronik pada Dukcapil Kota Jambi adalah fenomena gunung es tentang smart city dan smart governance yang tak sinkron, meski masuk kategori zona A (hijau) dengan nilai 89 di peringkat ke tujuh skala nasional, peringkat ini tidak serta merta membuat smart governance kota Jambi menjadi baik,” imbuhnya.
Selanjut Noviardi juga menyoroti masalah digitalisasi atau smart city Pemkot yang belum dapat memberikan jaminan pelayanan publik karena belum di kelola secara cerdas dengan implementasi teknologi informasi dan komunikasi dalam pembangunan dan pengelolaan kota. Sehingga dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi tersebut dalam pembangunan dapat meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.
Berbagai indikator menjadi tolok ukur dalam percepatan peningkatan Smart City di Kota Jambi juga perlu dipertanyakan implementasinya. Seperti adanya Smart Living dan Evironment, Smart Transportation, Smart Economy, dan Smart Government & People. Apakah sudah berjalan atau hanya cerita semata.
Dalam hal ini menurutnya ke depan pemerintah kota Jambi bisa memberi perhatian kepada Smart Government dimana pemerintah memfasilitasi perubahan dan perkembangan sosial dengan baik. Harapannya publik dapat mendapatkan infrastruktur pelayanan publik yang memadai, SDM yang kompeten, dan inovasi dalam pelayanan. Bukan malah menyulitkan mereka. Karena Smart City juga menyangkut mind set layanan pada manusianya. Ini yang sering terlupa, termasuk oleh pemkot.
“Smart City itu bukan sebatas aplikasi, tapi tolak ukurnya pelayanan pada masyarakat,” tandasnya.(*)
Discussion about this post