Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
PEMERINTAH pusat resmi mendelegasikan wewenang penerbitan sertifikat standar dan izin berusaha di bidang pertambangan mineral dan batu bara kepada pemerintah provinsi pada hari ini.
Aturan ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 tahun 2022 tentang Pendelegasian pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
Namun sayang, jika dicermati perpres ini tidak sepenuhnya membawa perubahan. Tidak ada semangat memperkecil daya rusak atau komitmen pemulihan tambang, malahan justru memperluas akses kerusakan tambang itu sendiri.
Terlepas dari hal itu, pendelegasian ini sebenarnya merupakan penyerahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah provinsi, terutama dalam rangka pemberian perizinan berusaha di bidang Pertambangan mineral dan batu bara.
Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba), Pasal 35 (1) disebutkan bahwa usaha pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.
Namun pada Pasal 35 (4) dinyatakan bahwa pemerintah pusat dapat mendelegasikan kewenangan pemberian perizinan berusaha kepada pemerintah daerah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bahkan saya menilai pengembalian kebijakan ini sebagai pekerjaan sia-sia karena bisa memperburuk masalah pertambangan, bisa memperparah daya rusak akibat pertambangan. Kerusakan tersebut meliputi lingkungan dan infrastruktur yang digunakan para pelaku tambang.
Pengembalian kewenangan tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pendelegasian Pemberian Perizinan Berusaha di Bidang Pertambangan Minerba yang terbit pada 11 April 2022.
Lingkup kewenangan yang didelegasikan termuat di bab keduanya. Pasal dua ayat pertama dalam bab tersebut, menyebutkan bahwa pendelegasian kewenangan meliputi pemberian izin dan pemberian izin standar; pembinaan atas pelaksanaan perizinan berusaha yang didelegasikan; serta pengawasan atas pelaksanaan perizinan berusaha yang didelegasikan.
Sedangkan ayat keduanya menjelaskan ketentuan pemberian izin standar. Izin standar meliputi kegiatan konsultasi dan perencanaan usaha jasa pertambangan di sembilan bidang. Lima bidang di antaranya yaitu penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi pertambangan, dan pengangkutan. Empat bidang yang lain adalah lingkungan pertambangan, reklamasi dan pascatambang, keselamatan pertambangan, dan atau penambangan.
Adapun ayat ketiga, masih dalam bab kedua di pasal pertama, menjelaskan tentang 12 jenis pemberian izin dari pemprov. Salah satunya izin usaha pertambangan (IUP) dalam rangka penanaman modal dalam negeri untuk komoditas. Komoditas tersebut dibagi menjadi tiga golongan yaitu mineral bukan logam, mineral bukan logam jenis tertentu, dan batuan.
Selain itu, izin pengangkutan dan penjualan komoditas juga bisa diberikan provinsi. Sama seperti IUP, komoditasnya juga dibagi menjadi tiga golongan yaitu logam, bukan logam jenis tertentu, dan batuan. Ketiga komoditas inipun berlaku bagi pemberian IUP untuk penjualan komoditas. Pemprov juga bisa memberikan surat izin penambangan batuan (SIPB), izin Pertambangan rakyat (IPR), dan Izin Usaha Jasa Pertambangan (IUJP).
Sebelumnya masalah pendelegasian sebagian besar perizinan pertambangan mineral dan batu bara provinsi bertolak belakang dengan komitmen pemerintah untuk membenahi praktik izin pertambangan ilegal yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan kabupaten sejak 2009 hingga 2020.
Keputusan ini untuk mengakomodasi kepentingan kepala daerah yang merasa dirugikan. Bahkan terjadi tarik ulur kepentingan daerah dengan pusat, termasuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi karena banyak sekali kewenangan kepala daerah yang hilang.
Sedangkan di sisi yang lain, pemerintah pusat beralasan langkah itu diambil dalam rangka mempercepat proses perizinan usaha yang selama ini cenderung terlambat di kementerian. Artinya, perpres Nomor 55 tahun 2022, akan menambah semerawut masalah pertambangan mineral batubara di Indonesia.
Selama penerapan UU Nomor 4 tahun 2009, saat izin dikeluarkan oleh pemerintah kabupaten dan provinsi telah melahirkan situasi izin pertambangan di daerah tidak clear and clean.
Akibatnya, wewenang izin pertambangan kepada pemerintah provinsi bakal memperpanjang praktik perusakan lingkungan pada rezim undang-undang yang lama sebelum dikeluarkannya Undang-Undang No.3/2020 tentang Perubahan UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Terjadi penyelewengan terhadap penataan pertambangan di sejumlah daerah yang melanggar ketentuan kewilayahan. Misalkan, izin pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah berjarak dekat meter dari pemukiman warga, termasuk izin pertambangan dikeluarkan pada kawasan hutan lindung atau wilayah hijau.
Walhasil, kehadiran Perpres 55/2022 dinilai belum bisa mengatasi dampak negatif dari pertambangan karena tidak membahas keselamatan rakyat, hanya sebatas kewenangan administrasi daerah semata.
Keselamatan yang di maksud adalah pemberian sanksi bagi pelanggar perpres, kontrol rakyat terhadap pertambangan, hingga hak veto rakyat.
Bahkan peraturan ini bisa menjadi celah praktik korupsi. Pemberian sertifikat izin pertambangan disebut bisa dimanfaatkan melakukan pungutan liar. Kondisinya semakin parah karena izin pertambangan memiliki masa tenggat. Jika batas waktunya berakhir, pengusaha bisa memperpanjangnya lagiĀ butuh sertifikat lagi. Maka, ada pembiayaannya lagi tiap sertifikat. Membuka ruang-ruang baru praktik korupsi.*****pengamat****
Discussion about this post