Oleh : Dr. Noviardi Ferzi
Jabatan politik bukan untuk pencari kerja. Keyakinan ini menjadi semacam dogma, sebuah nilai moral yang standar ketika musim pemilu tiba.
Terkait dogma ini saya teringat filsafat Martin Buber tentang ambigu seorang pejabat publik antara mereka, masyarakat dan kepentingan kantong mereka, ” I require a You, becoming I, I say You (Aku berkata Engkau, sambil menjadi Aku, Aku berkata Engkau).
Kenapa jabatan politik hasil pemilu seperti DPR, DPRD, DPD, idealnya bukan lahan untuk pencari kerja? Karena ada kepentingan publik yang esensial dalam kewenangan mereka, sebuah kepentingan yang akan terganggu ketika para pencari kerja ada disana.
Pola pikir yang menjadikan negara tidak lebih sebagai tempat untuk bekerja, mencari nafkah, dan sumber pencaharian hidup secara permanen. Bekerja di institusi negara dimaknai oleh pejabat publik sebagai usaha strategis untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.
Tidak heran jika kesejahteraan hidup di kalangan pejabat publik umumnya meningkat drastis ketimbang rakyat. Sementara pejabat publik memiliki akses ke aset-aset negara, rakyat tidak. Malah, rakyat sering kali lebih diingatkan tentang kewajiban-kewajibannya daripada dipenuhi haknya.
Kewajiban yang sering kali diingatkan kepada rakyat adalah soal pajak. Filosofi dasarnya adalah bahwa negara dapat bertahan dan terselenggara jika rakyat taat dalam membayar pajak secara reguler.
Ironisnya, uang pajak hanya sedikit sekali digunakan untuk memenuhi hak-hak rakyat dalam memperoleh pekerjaan serta penghidupan yang lebih layak dan sejahtera. Yang justru kita saksikan akhir-akhir ini adalah maraknya fenomena penyalahgunaan uang pajak untuk peningkatan kesejahteraan pejabat dan keluarganya, bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Menjadi pejabat publik yang terpilih semestinya memperjuangkan etika kekuasaan. Yakni, kekuasaan diselenggarakan untuk kemaslahatan umum. Perihal pengayaan pribadi harus disadari betul sebagai fatsun yang apatis terhadap konteks kebangsaan.
Pejabat publik seperti anggota DPR mestinya mengerti betul kewajiban dan keharusan memahami dan memperbaiki nasib rakyat kecil sebelum menerima hak. Etika pejabat publik ialah relasi kuasa yang demokratis sekaligus menggunakan kepekaan empati dan emansipatoris.
Kembali ke soal pemilu, KPU telah mengumumkan 17 partai politik peserta pemilu 2024 yang kemudian diikuti dengan pengundian nomor urut partai. Bagi awam, arti pengumuman ini hanya satu, yaitu musim pemilu telah tiba, saat dibukanya kesempatan untuk menjadi wakil rakyat yang terhormat.
Pemilu memang jembatan transformasi “nasib”yang demokratis, jalan konstitusional untuk mengakses jabatan legislatif. Maka tak heran pemilu juga dipandang sebagai lahan untuk mencari pekerjaan (job seeker) menjadi anggota dewan.
Padahal dalam proses ini, seyogyanya kedudukan sebagai anggota dewan untuk mengabdi, bukan untuk mencari kehidupan, karena DPR dan DPRD bukan lahan pekerjaan untuk mencari sumber ekonomi secara berlebih.
Indonesia hari ini membutuhkan pejabat publik yang mampu menjadikan institusi negara (legislatif) bukan sebagai sumber mata pencaharian, melainkan lebih sebagai tempat pengabdian hidup untuk rakyat.
Hal ini memberikan spirit yang kuat kepada pejabat publik hasil pemilu tentang apa yang dapat mereka lakukan, berikan, dan abdikan untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat.
Fenomena Politik sebagai lahan pencari kerja (Job Seeker) telah lama diingatkan oleh Max Weber salah seorang Ilmuwan Jerman pada tahun 1919. Menurut ilmuan beken ini, politisi sebaiknya bukan pencari kerja, tetapi mereka yang sudah mapan secara ekonomi. Dalam kondisi normal, politisi harus mandiri secara ekonomi dari pendapatan politik yang didapatnya. Paparan ini pernah disampaikan.
Paparan Weber tersebut masih relevan dengan kondisi politik di Indonesia saat ini, bahkan menjadi urgen untuk direnungkan dan dijalankan. Bukan hanya sebatas idealisme, tapi juga sebagai satu keharusan.
Resiko jika para politisi katakanlah seperti para calon legislatif ataupun para kepala daerah terkategori orang yang mencari kerja mudah dicerna dengan logika, bahkan bisa dilihat secara kasat mata.
Misalkan, apabila calon legislatif yang ada saat ini terdiri dari para pencari kerja, tidak menutup kemungkinan akan menjadikan posisinya nanti sebagai mata pencaharian. Maka, risiko penyalahgunaan wewenang untuk meraih pendapatan finansial untuk diri sendiri semakin besar. Akibatnya, kepentingan umum dikorbankan.
Korupsi annggota parlemen sudah bukan rahasia umum lagi dan marak terjadi di berbagai negara. Pemimpin dan politisi yang baik seharusnya mempraktikkan ‘tahta untuk rakyat’ dan berupaya mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat dan berapa anggaran yang harus dialokasikan.
Karenanya suara rakyat tidak dibeli dengan uang namun dengan pengetahuan, empati, kebijakan tepat guna, tepat sasaran serta ketegasan dalam bertindak.
Kajian ilmu paleoantropologi, pola korupsi yang dilakukan para koruptor tak ubahnya struktur sosial tribe, evolusi peradaban manusia di masa lampau, pemerintahan dibentuk berbasis keluarga sanak saudara. Yang terjadi saat ini, koruptor dan politisi membangun kekuasaan melalui mekanisme kekerabatan meski hidup di negara modern.
Lalu bagaimana mengurangi fenomena rent seeker ini ? Politik Modern adalah politik kepartaian Dalam situasi semacam ini, partai politik adalah aktor aktor utama di dalam sistem yang menghubungkan antara kewarganegaraan dengan proses pemerintahan. Jika demikian adanya, maka hal yang perlu kita lakukan di samping memperbaiki keadaan hari ini melalui sustainable controlling adalah mempersiapkan generasi baru politik.
Sehingga keniscayaan partai dalam sistem politik dan demokrasi kontemporer dapat kita harapkan sebagai komponen vital untuk memfungsikan demokrasi; yakni mencapai kesejahteraan publik dan keadilan terdistribusi, pada semua kelompok dan lapisan. ***Pengamat***
Discussion about this post