JAMBI – Suara warga dan organsasi masyarakat sipil Provinsi Jambi menolak dan mendesak moratorium Batubara makin kencang disuarakan berbagai kalangan.
Sebab, praktek pertambangan Batubara di Jambi telah mengabaikan Good Governance (tata kelola yang baik) dan Clean Government (pemerintahan yang bersih) sehingga menimbulkan kegagalan kebijakan (policy failure) dan kegagalan kelembagaan (institutional failure).
Selain kelompok organisasi mahasiswa seperti HMI dan BEM yang turun ke Jalan mendesak penyelesaian Batubara ini, berbagai koalisi masyarakat ikut turun mengalang gerakan menyikapi Batubara.
“Eksploitasi sumber daya alam seperti pertambangan, menyebabkan kesengsaraan, kerusakan dan pencemaran lingkungan. Sedangkan, penikmat alias perusahaan tambang terus mengeruk bumi, masyarakat hanya menerima masalah.Ketika investasi datang dengan janji memberikan lapangan kerja, faktanya lapangan kerja mandiri dari masyarakat hancur, kita kehilangan lahan pertanian dan sawah,” ungkap Feri Irawan salah seorang mandataris Gerakan Advokasi Tambang (AN-TAM) kemarin saat konsolidasi bersama organ gerakan (5/7) kemarin.
Menurut Feri Irawan, AN-TAM lahir sebagai bentuk protes atas kinerja pemerintah yang tutup mata akan dampak negatif Batubara. Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam gerakan sedang mendengarkan saksi fakta korban angkutan BB, melalui pendamping yang mengorganisir masyarakat lokal, hingga komunitas-komunitas dan warga yang terdampak langsung pertambangan minerba, di sejumlah wilayah di Jambi baik Sarolangun, Batanghari, Muaro Jambi, Bungo, Tebo dan lainnya.
Suara warga dan organisasi masyarakat sipil dari Jambi ini menolak dan mendesak agar Batubara di Moratorium karena selain menimbulkan kemacetan juga telah menimbulkan korban jiwa berupa orang meninggal karena Lakalantas.
Berdasarkan verifikasi lapangan, dalam kurun waktu 2012 – 2022 telah terjadi 2216 kecelakaan karena angkutan Batubara, dari jumlah itu 1.442 orang korban meninggal dunia, sisanya cacat dan cidera.
Ironinya, para korban meninggal ini tanpa kompensasi memadai. Sehingga fenomena korban angkutan Batubara adalah suatu pembiaran yang melanggar HAM, menciderai nilai dasar kemanusian
Senada dengan hal ini Dr Noviardi salah seorang akademisi di Jambi mengatakan bicara investasi Batubara yang disebut-sebut menciptakan lapangan kerja. Namun, jangan lupa aktivitas Batubara sudah menghancurkan geliat ekonomi sekitar tambang, misal, petani, dan warga pengguna Jalan. “Jadi pertanyaan, tenaga kerja mana yang sejahtera ” ?
“Lahan pertanian warga sekitar tambang, ada yang gagal panen. Temuan lapangan, ternyata ada limbah batubara bocor dan mengalir ke persawahan warga,” ungkapnya.
Nelayan, mencari ikan di sungai yang mengalir limbah batubara. “Sungai mata pencarian nelayan dirusak. Yang ada bukan ikan lagi tetapi limbah batubara.
Ketika investasi datang dengan janji memberikan lapangan kerja, faktanya lapangan kerja mandiri dari masyarakat hancur.
Ketua Karang Taruna Jambi Navid, salah seorang mandataris AN-TAM menuntut, pemerintah bertanggungjawab memulihkan lingkungan dan reklamasi pasca tambang. Dia juga mendesak, pemerintah memoratorium ini.
“Tidak ada kesejahteraan di level masyarakat sekitar pertambangan. Kehadiran pertambangan batubara berdampak buruk dalam berbagai sektor kehidupan warga, dari ekonomi sampai kesehatan,” ucap Navid
Menurutnya, Kondisi tambah parah dengan tidak ada negosiasi antara perusahaan dan masyarakat pemilik lahan, hingga besaran ganti rugi sepihak.
Warga protes. Perusahaan pun merespon dengan beri janji-janji manis, seperti janji membenahi jalur irigasi rusak karena limbah, memperbaiki akses jalan masyarakat yang hancur jadi rute transportasi perusahaan tambang. Juga janji, reklamasi, ganti rugi dengan nilai wajar, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan lapangan pekerjaan.
” Selama in, katanya, pengusaha-pengusaha industri ekstraktif melepaskan diri dari tanggung jawab, rakyat yang menderita, ” tandasnya. (rls/muz)
Discussion about this post