PATUNAS.CO.ID,- DPRD Kota Jambi menggelar Paripurna pandangan Fraksi terhadap nota pertanggungjawaban LKPJ Walikota Jambi tahun 2021, Rabu 6 Juli 2022. Dalam pandangan Fraksi ini, Partai Gerindra banyak menyoroti kinerja Pemkot Jambi yang dinilai tidak maksimal.
Ketua Fraksi Gerindra Muhamad Yasir, S.Pd, MM mengungkapkan, terkait SiLPA tahun 2021. Fraksi Gerindra berkesimpulan SiLPA sebesar 159,68 Miliar Rupiah suatu anomali anggaran yang menjadi salah satu akar persoalan kenapa angka kemiskinan dan pengangguran di Kota Jambi tinggi.
Karena anggaran pemerintah tak mampu diserap dalam belanja yang produktif serta merangsang keberdayaan ekonomi warga.
Menurut Fraksi Gerindra silpa ini terkait langsung dengan rendahnya realisasi belanja daerah tahun 2021 yang hanya sebesar 1,74 Triliun Rupiah dari rencana belanja 1,96 Triliun Rupiah.
“Fraksi Gerindra tidak sependapat dengan pandangan saudara Walikota yang menyatakan tidak tercapainya realisasi belanja disebabkan oleh penghematan belanja atau akibat lainnya. Justru, kami menilai belanja yang tidak terserap ini lebih pada manajemen teknis dilapangan yang tak sepenuhnya berjalan, karena lemahnya perencanaan masalah waktu pekerjaan,” kata Yasir.
Salah satu contoh, masalah realisasi sisa dari pinjaman PT. SMI sebagai belanja modal sebesar 68,85 Miliar Rupiah, lalu, dari belanja perjalanan dinas, belanja jasa, belanja persediaan, dan lain- lain yang disebabkan pandemi Covid-19, tidak disebabkan karena penghematan tapi karena pengalokasian anggaran yang kurang menghitung dinamika situasi.
Termasuk dalam hal belanja yang tidak terealisasi seperti belanja bunga pinjaman daerah dari PT. SMI yang memiliki metode perhitungan berdasarkan realisasi pinjaman yang dihitung setiap triwulan sebagai sesuatu yang sebenarnya bisa diantisipasi dalam perencanaan suatu proyek.
“Dari kasus ini pertanyaan masyarakat tentang kenapa penyerapan anggaran menjadi target kinerja birokrasi terjawab. Sederhananya karena apa yang sudah dianggarkan itu mengikat, kegiatannya harus dilakukan, harus ada output-nya, yang dikenal juga sebagai makna dari Anggaran Berbasis Kinerja, bukan berbasis angan–angan,” ungkapnya.
Lanjutnya, sehingga istilah “penghematan” dalam anggaran justru mengambarkan tidak terealisasinya kegiatan, bukan adanya efisiensi biaya untuk melaksanakan satu kegiatan yang sama sesuai dengan yang direncanakan. Inilah yang terjadi dalam Silpa di Kota Jambi.
Hal ini berakibat fatal karena penyerapan belanja APBD Kota sejatinya berperan sebagai stimulus fiskal. Saat pandemi, ketika konsumsi dan investasi terhambat, satu-satunya yang bisa diharapkan untuk menggerakan roda perekonomian adalah belanja Pemerintah. Karena itu di berbagai kesempatan, kita menyimak Presiden Jokowi tak bosan-bosan berteriak tentang kecepatan dalam realisasi belanja tersebut. Dan ini tidak terlalu optimal dilakukan pemerintah kota di tahun 2021.
Salah satu contoh yang menjadi catatan Fraksi Partai Gerindra tahun 2021 pemkot dengan ambisiusnya meminjam dana kepada PT. SMI 140 M, namun anehnya, Silpa ditahun ini justru mencapai 159 milyar. Logika untuk apa berhutang jika menjadi SILPA.
“Inilah menurut kami gambaran bagaimana kegagalan pemerintah kota menjadikan besaran APBD sebagai alat fiskal bagi kesejahteraan masyarakat. Malah sebaliknya besaran APBD menjadi beban kinerja yang tak mampu dibelanjakan,” beber Yasir. (ynd)
Discussion about this post